CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH BOHAI DIPERKOSA

CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH BOHAI DIPERKOSA


CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH BOHAI DIPERKOSA, Hasrat-Bispak20 Semuanya orang didalamnya perlu berusaha serta berkorban supaya tidak tersisih, dan tidak semuanya jalan yang dapat dilewati itu terang-benderang…Izinkan saya bercerita kejadian hidup saya. Nama saya Darmini, tetapi orang gak banyak yang mengenali nama asli saya. Bapak serta Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa untuk anak wanita di daerah saya, tetapi berarti tidak cuman itu. Denok  bermakna montok alias sintal, dan ternyata makna itu yang lebih dikenang beberapa orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Saat kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak satu satunya Bapak dan Simbok, satu keluarga petani penggarap yang tidak berpunya. Semenjak kecil saya diajari menari oleh Simbok, sebab beliau sendiri waktu muda yaitu orang penari, serta seringkali ditanggap kalaupun ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti waktu satu hari saya serta Simbok temui Bapak menggantung diri. Rupanya Bapak punyai banyak hutang karena edan judi, dan beliau tak sanggup membayar hutangnya itu. Kami terang sendu sebab Bapak telah tidak ada, namun juga kebingungan sebab sekian hari sesudah Bapak disemayamkan, kami ditendang dari rumah karena rumah kami diambil broker judi yang memberinya hutang pada Bapak. Kami gak miliki daerah tujuan, serta uang simpanan kami gak berapa. Simbok selanjutnya ngotot ajak saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan.


"Denok, kita tidak dapat apapun kembali di sini, di kota kita dapat coba mencari uang, semoga dari sana mendingan dibanding di sini," kata Simbok.


Saya cuman alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama gak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, tidak diterima lantaran dikira pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang gak penting ijazah, tandingan sangat banyak. Pada akhirnya sehabis cukuplah lama melihat beragam peluang yang ada, Simbok menentukan untuk menggunakan ketrampilan kami. Dengan modal baju dan perabotan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa serta kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, awali kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota tengah persiapan ujian akhir SMA atau menempuh tahun mula kuliah, dan yang di kampung tunggu dijodohkan oleh orangtuanya, saya memulai jalani kehidupan baru, menawarkan keterampilan seni tari bersama Simbok. Mulanya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, semata-mata cari keramaian di mana kami dapat mendapat beberapa lembar rupiah untuk melanjutkan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mengkaji jalanan Ibu-kota untuk cari beberapa orang yang pengin kami hibur dengan tarian kami. Rupanya gak mudah pun cari uang melalui langkah sebagai berikut, paling-paling yang kami temukan cukup hanya untuk makan kami berdua, satu atau kedua kalinya dalam hari itu. Serta tidak di semuanya tempat kami dapat mendapatkan pirsawan yang mau bayar, kadangkala kami justru ditendang atau dihardik. Sehabis cukuplah lama, kami berjumpa tempat di mana kami dapat selalu bisa pemirsa serta uang: satu pasar induk yang lumayan besar, serta lingkungan disekelilingnya. Kami juga sewa satu kamar kontrak murah di dekat Pasar. Beberapa orang di Pasar, dari golongan menengah ke bawah, haus kesenangan murah yang dapat membikin mereka ingat daerah semasing. Hadirnya kami di situ terus disongsong senyuman, tawa, serta helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Meski kerapkali helai-lembar itu dikasih ke kami oleh kurang santun contohnya dengan disembunyikan ke busana kami. Apa saya dan Simbok memang menarik? Entahlah ya. Saya sendiri tak berasa elok. Menjadi anak petani yang kerap main di luar mulai sejak kecil, kulit saya jadi lumayan gelap terbakar matahari. Tetapi Simbok pun sejak dahulu terus membimbing dan mengingati saya buat menjaga badan meskipun lewat langkah simpel, jadi biarpun sawo masak, kulit saya selalu mulus serta tidak jerawatan ditambah lagi bopeng-bopeng lho.


Oh iya, barusan kan saya udah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Ditimbang-timbang betul pun sich jika dikatakan saya montok. Tidak tahu mengapa, walau rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepas, kok tetap tubuh saya bisa saja ya. Saat sebelum remaja saja tetek saya udah tumbuh, serta saat ini jadi subur gumebyur hingga saya selalu risau dengan kemben saya tiap-tiap kali menari. Pantat saya  cepat karena dibikin latihan olah badan dalam tarian. Ada yang katakan bahenol, saya sich matur nuwun saja jika ada yang kira demikian. Terheran-herannya, biarpun atas bawah besar, tengahnya tidak turut besar, perut dan pinggang saya masih singset. Saya menganggapnya masih singset masalahnya sepertinya kelak tubuh saya bakal menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, bila Simbok itu benar-benar elok. Hingga sampai usia begitu juga beliau masih elok. cerpensex.com Ditambah lagi apabila sudah gunakan sanggul dan dandan, wuihh. Seluruhnya orang nengok serta gak tonton apapun kembali. Saya sendiri selalu terasa buruk lho bila tampil bersama Simbok. Ah, tetapi sedunia cuman saya sendiri yang nganggap muka saya tidak baik. Kecuali Simbok, beberapa orang yang umum melihat kami menari kok semua katakan saya elok. Saya berpikir, ini mah pinter-pinternya Simbok merias saya saja. Waktu kali pertama didandani buat ngamen, saya protes, kok ribet benar-benar. Rambut harus disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk dan kembang. Muka perlu dibedaki tebal-tebal, hingga sampai berbeda warna dengan tubuh. Kemungkinan tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang gak ketutupan. Alis saya yang telah tebal dibuat makin tebal. Bibir pun diberi gincu warna merah oke. Saya kala itu ngeluh, WAJIB 4D


"Kok telah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu gak bisa biasa saja, nduk. Perlu kinclong, manglingi. Kita perlu buat puas yang tonton."


Lama-kelamaan saya biasa pula pakai dandanan sesuai itu, malahan saya bikin jadi guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis tiap hari kejadian penganten, sesaat jika nikah betulan harus kayak apakah diriasnya?" Dandan paras yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, sama dengan kemben, kain batik, dan selendang. 


Namun memang yang bernama nasib itu jalannya gak ada yang ketahui. 2 bulan kami berada di dekat Pasar, tragedi tiba kembali. Waktu tengah nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cedera kritis. Saya cemas, beberapa orang di kitaran beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Tetapi Simbok tidak terbantu. Simbok wafat di rumah sakit seusai 2 hari dua malam usaha ditolong dokter dari sana. Sebetulnya sejak mulai ketabrak pun Simbok tidak ada keinginan, tetapi tidak tahu mengapa beliau lama sekali wafatnya. Sekaratnya hingga sepanjang hari. Hingga tidak sampai hati saya menyaksikannya. Saat itu ada yang bisik-bisik, kemungkinan Simbok pasang susuk, maka dari itu kematiannya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara sesuai itu. Tetapi apa itu betul atau gak, saya tidak mau tahu, biarkan itu menjadi rahasia Simbok. Saya selanjutnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis buat mbayar rumah sakit serta penyemayaman, justru perlu berutang kemanapun. Saya tidak dapat melaksanakan acara jenis-jenis buat Simbok, cuma dapat doakan sendiri mudah-mudahan roh Simbok dapat tenang di alam sana dan bertemu kembali dengan Bapak. Satu minggu lebih saya di kontrak saja lantaran sangat bersusah-hati. Kemungkinan setiap hari saya menangis, sendu ingat Simbok,  kesepian. Selanjutnya saya memaksakan diri buat keluar kembali, ngamen kembali, sebab uang telah habis dan saya pula perlu lawan beberapa tukang tagih hutang yang tak mau tahu kesukaran saya . Maka, 1 minggu setelah Simbok disemayamkan, saya kembali persiapan buat keluar, menari. Di depan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul serta kembang, saya bedaki muka saya agar gak nampak beberapa bekas menangis, saya gunakan kembali kemben serta kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, sesuai keluar kamar saya malahan bertemu dengan ibu yang punyai kontrak. Sang ibu tidak pakai basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya tidak punyai uang, jadi saya sekedar dapat ngomong maaf, serta sang ibu justru ngancam secara lembut. Tidak apapun tidak bayar, ujarnya, namun esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok gak habis-habis ya masalah untuk saya. Saya ingin upaya dahulu, kata saya, kelak dapat saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.


CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH BOHAI DIPERKOSA


Naasnya, hari itu pasar cukup sepi, serta selepas dua jam saya baru bisa Rp5000 setelah menari di pangkalan ojek. Saya gak dapat fokus, kepala sarat dengan pemikiran, bagaimana metodenya biar kelak kalaupun pulang sudah memiliki cukup uang buat bayar sewa. Belum beberapa utang yang lain. Saat siang, saya sedang jalan di barisan toko toko besar dari sisi Pasar. Dan di muka toko beras terbesar di Pasar, saya lihat Juragan lagi hitung segepok uang. Beliau baru-baru ini terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya kala itu sekedar mengenal beliau selaku ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau telah tua, lebih tua dibanding Simbok, barangkali umurnya telah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis serta jenggotnya jarang. Tubuhnya besar dan perutnya gemuk. Sekali 2x saya serta Simbok pernah menari di muka tokonya, dan pegawai-pegawainya memberikan kami uang tetapi beliau tidak. Tetapi beliau pernah pinjamkan uang pada Simbok, serta Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri hampiri Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot di serta berada di belakang. Tokonya sedang sepi, tidak ada konsumen.


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan lihat saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya tidak kuat bilangnya. Namun saya mesti omong. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya telah habis buat ongkos penguburan Simbok… saat ini saya harus bayar sewa dua bulan…"


"Hah?" Juragan lihat saya dengan aneh, "Kamu butuh uang?"


"Tolong, Juragan," saya memohon kembali, "Saya udah ditagih, ini hari harus ada, atau saya ditendang. Saya janji bakal balikkan selekas mungkin." WAJIB 4D


Eh, kok Juragan langsung kantongi segepok uang tadi ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang memberikan hutang. Kamu butuh uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja."


"Saya saat ini pula kembali kerja, Juragan," saya dongkol namun tidak berani menunjukkan; nampaknya Juragan tak ingin pinjamkan uang. "Hanya seramnya saya tak dapat dapat uang ini hari buat membayar kontrak. Bila berjualan, saya nggak miliki apapun, perlu jual apa?"


Tetapi selanjutnya tatapan Juragan kok berganti menjadi aneh… Beliau dekati saya serta memeluk saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa yang ngomong kamu tidak punyai apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya pengin kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, hingga sampai pipi saya melekat dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan lagi terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya memikirkan apa artinya itu.


"Bila kamu pengen, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar buat bulan depannya," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya harus bagaimana? Saya butuh uang, namun apa perlu dengan secara sebagai berikut? Tetapi bila gak, bagaimana kembali? Yang ada saya dapat ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama dengan. Saya gak mempunyai alternatif lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali hingga gak terdengaran. Kalaupun saja tidak ketutupan bedak, barangkali udah tampak muka saya berbeda merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga tergoyang-guncang. "Bagus, Denok. Mari turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan nyatanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan gak mempunyai istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya selalu menyaksikani lantai, tak berani mengusung kepala, tetapi sesekali saya ngintip ke sana-kemari lihat situasi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada poto tua yang memberikan Juragan dengan seseorang wanita—istrinya kah? Juragan menggamit tangan saya masuk ke satu kamar. Ruangan tidurnya. Ia suruh saya duduk di dipan. Saya duduk, sembari tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, mempelajari sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sekalian katakan,


"Denok, angkat kepalamu, saksikan saya." Saya nurut. Kemungkinan ia tonton mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," tukasnya.


Ia letakkan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, lihat uang itu. Besar sekali untuk saya. Kebanyakan sepanjang hari menari saya tidak pernah mendapat uang sekitar itu. Namun saya terus ragu-ragu. Juragan mendadak pengin ambil kembali uang itu.


"Kalaupun tak ingin ya udah," tuturnya dengan suara kurang suka.


Namun saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Sesuai tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, dan saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum menyaksikan saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Membikin orang hasrat ajah…" saya saksikan Juragan nyengir lebar sehabis bicara itu. sumpah, baru kesempatan ini ada laki laki berterus-terang ngaku begitu.


Helai uang lima puluh ribu baru saja diletakkan Juragan di sisi saya ia mengambil, lipat, lalu ia sisipkan ke… aduh! Ia sisipkan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," tuturnya. Duh, gak yakin rasanya. Awal mulanya saya serta Simbok harus menari sepanjang hari, hingga pegal-pegal, buat memperoleh uang kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya dapat duit sekitar itu … kok ringan sekali?


"Betulan buat saya…?" Tetap tak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka segalanya," kata Juragan sembari menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa artinya itu? Apa Juragan sukai dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang ngomong itu ke saya… Jantung saya deg-degan dengarnya. Juragan menarik kain kemben masih ditahan tangan saya, dan kainnya melesat demikian saja tanpa ada saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya dapat memperoleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan memohon saya membuka pun kain batik coklat yang saya gunakan.


Kemungkinan sebab barusan saya malu serta pelan satu waktu membuka kemben, Juragan dekati saya dan menguak kain batik saya. Saya seketika mundur, tetapi tangan Juragan selanjutnya menggenggam bahu saya.


"Gak boleh takut, Denok…" ujarnya.


Juragan  menggenggam paha saya masih sejumlah tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Suara "Eihh" keluar mulut saya, malu karena sentuhan Juragan. Tangannya selanjutnya nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersenggolan dengan kulit paha saya, dan saya kian deg-degan. Ia terus remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar suara beberapa macam dari mulut saya. Tangan satunya terus nyibak kain saya, hingga sampai ke dekat pinggang… Duh, biyung, sedang diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, hingga sampai paha saya udah dikeluarkan dari kemasnya, sedikit kembali kancut saya nampak!


"Rebah saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya masih nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang belum saya lepas (apa mestinya saya lepas ?) ngganjal belakang kepala saya. Dan sekalian saya rebah itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya untuk pekerjaan: satu membentang di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya ragu, tetapi gak tahu mengapa, saya pula kok rasa nafsu saya bangun? Aduh? Kok berikut ini jadi? Juragan terus menerus lihat sekujur badan saya, sekalian memberikan pujian.


"Marilah donk, tidak perlu tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, jika kamu ingin kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan dimasukkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya tidak ada yang tutupi. Saat ini kancut saya tampak.


"Euh… Juragan… ingin pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama